Di Sini Jendela Itu

Tak pernah terbayangkan bagi kami, Oman – sebuah negeri yang dihuni oleh manusia-manusia ramah, indah akhlaknya, indah alamnya. Siapa yang menyangka, nilai mata uangnya saja termasuk yang paling tinggi, terkuat ketiga di dunia setelah Kuwait dan Qatar. Ketika berbicara tentang siapa sebenarnya negara kaya, Omanlah salah satunya. Jika kita berbicara tentang negara dengan kedermawanan yang hebat, Oman pasti termasuk di dalamnya.

Hari ini kami berada di sini, seperti berada di tepian jendela, sesuatu yang membuat kami mampu melihat dunia lebih jauh lagi. Sesuatu yang menegaskan bahwa kita tidak sedang berada di kampung kecil, melainkan berada di dunia yang begitu luas.

Di sini jendela itu, kawan. Belajar, bercengkerama, dan berbaur dengan teman-teman dari berbagai negara seperti Uzbekistan, Thailand, Komoro, Hungaria, Prancis, Polandia, Lithuania, dan lain-lain. Saling bertukar pengalaman, bersama belajar lebih dalam tentang dunia Arab, bahasa, dan kebudayaannya – Oman khususnya. Budaya menjadi bagian terpenting dalam setiap pembelajaran bahasa, karena belajar bahasa bukan hanya sekadar tata bahasa saja. Namun, di saat yang bersamaan kita juga belajar adat istiadatnya – hal yang tak mungkin terpisahkan dan justru membuat pembelajaran menjadi sempurna. Sebuah ungkapan yang kerap kali diulang oleh dosen pembimbing kami, Dr. Mustofa Ambusaidi: “Bahasa dan adat istiadat adalah mata uang yang tak terpisahkan.”

Di sinilah jendela itu. Kami melihat budaya dan adat istiadat bangsa Arab tradisional dengan begitu dekat. Memang saat ini hanya Oman yang kami lihat, tetapi itu setidaknya dapat mewakili Arab Teluk dalam lingkup kecil dan Arab secara umum. Wawasan kami begitu terbuka di sini. Agama begitu mewarnai kehidupan setiap masyarakatnya. Bahkan, penduduk Oman begitu bangga dengan agama yang dianutnya, dengan keislaman mereka, dan juga dengan sejarahnya yang luar biasa heroik. Mereka mengatakan, “Mekah baru masuk Islam secara resmi pada tahun ke-8 Hijriah, sementara kami telah resmi masuk Islam di tahun ke-6 Hijriah.” Sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka. Walau demikian, kebanggaan itulah yang justru mereka wujudkan dalam amal dan kesehariannya.

Siapa dari kita yang meragukan kelembutan sikap dan tutur kata orang-orang Oman? Siapa yang meragukan ketulusan dan kebersihan hati mereka? Siapa yang meragukan kedermawanan mereka? Semua kita sepakat mengatakan tidak ada. Benarlah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Lau anna ahla ‘Uman ataita, mā dharobūka wa mā sabbūka.” “Jika kalian datang menghampiri penduduk Oman, sungguh mereka tak akan memukulmu atau menyakitimu.” Hal inilah yang kami rasakan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di sini. Bahkan jika kita mendatangi mereka untuk berbagai urusan, Insya Allah mereka tak akan mengabaikan.

Di sini setidaknya tiga jendela kami dapatkan untuk melihat sesuatu dengan lebih jauh, jernih, dan dalam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *